TEKS

SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA
Blog ini berisi kumpulan artikel,puisi dan film favorit saya.semoga blog ini bermanfaat untuk anda

Rabu, 15 Februari 2012

SEKILAS TENTANG JIM MORRISON DAN THE DOORS


Jim Morrison (lahir di Melbourne, Florida, Amerika Serikat, 8 Desember 1943 – meninggal di Paris, Perancis, 3 Juli 1971 pada umur 27 tahun) adalah seorang vokalis dan pengarang lagu dari kelompok musik The Doors.Keunikan musik The Doors yang digabungkan dengan lirik bernuansa gelap karangan Morisson menjadikan band tersebut salah satu kelompok musik terbesar dalam dunia rock and roll. Menurut majalah Rolling Stone, Jim Morrisson merupakan salah satu dari 100 penyanyi terbesar sepanjang masa.
Salah satu kontroversi besar yang telah dilakukan Jim Morrison adalah saat ia tampil di Dinner Key Auditorium, Miami, pada 1 Maret 1969. 
Dia menunjukkan bagian tubuhnya yang vulgar kepada para penonton.Pada Agustus 1970, Jim menyerahkan diri ke FBI dan dinyatakan bersalah atas penggaran minor berupa mabuk-mabukan dan berbuat asusila (melalui bahasa dan kelakuan).Namun, menurut penabuh drum The Doors, Jim tidak melakukan perbuatan tersebut di konser Miami itu.

Biografi

Dia merupakan anak pasangan Clara Clarke Morrison dan George Stephen Morrison, seorang pilot angkatan laut.Saat Jim berumur enam bulan, ibunya berpindah ke Clearwater, Florida untuk tinggal bersama mertuanya, Paul dan Caroline Morrison. Sedangkan, ayahnya pergi bertugas di daerah Pasifik sepanjang sisa Perang Dunia II. Setelah itu, ayahnya naik pangkat menjadi laksamana dan menjadi pemimpin kapal USS Bon Homme Richard dalam insiden di Teluk Tonkin. 
Jim Morrison baru bertemu ayahnya kembali ketika ia berusia 2 tahun. Beberapa tahun kemudia, dia memiliki dua orang adik bernama Anne Robin (lahir pada 1947) dan Andrew “Andy” Lee (lahir pada 1948).
Jim menyelesaikan bangku SMA di Alexandria dan setelah itu melanjutkan ke St. Petersburg Junior College dan Florida State University. Pada tahun 1966, Jim yang berusia 22 tahun memutuskan untuk belajar mengenai perfilman di University of California, Los Angeles (UCLA). 
Setelah lulus dari UCLA, dia bertemu degan Ray Manzarek, seorang mahasiswa UCLA dan pemain keyboard berbakat.
Bersama dengan John Densmore sebagai penabuh drum dan Robby Krieger sebagai gitaris, mereka berempat membentuk kelompok musik bernama The Doors yang diambil dari buku karangan Aldous Huxley, The Doors of Perception.


Era The Doors

Secara lirikal, The Doors membawa latar musik rock baru dengan suasana yang kompleks, surealis dan sugestif yang mengeksplorasi seks, mistisisme, obat-obatan, pembunuhan, kegilaan hingga kematian. Hal yang mengangkatnya juga menjadi penghambatnya, seperti saat tampil di Ed Sullivan Show dengan lirik “Light My Fire” yang harus dirubah demi kesopanan.
Ditahun 1966 The Doors tampil di Whisky a Go Go ( Sebuah diskotik di California Selatan yang banyak melahirkan band-band terkenal seperti The Byrds, Buffalo Springfield dan Love) dan menjadi home band tetap, yang kemudian membawanya dikontrak oleh Elektra Records pada 18 Agustus 1966. Namun pada 21 Agustus The Doors dipecat dari klub karena menyanyikan lagu “The End” dengan lirik yang sangat kontroversial, terinspirasi dari sebuah film drama Yunani “Oedipus Rex”, yang dalam kisahnya sang protagonis Oedipus membunuh ayahnya dan menyetubuhi ibunya.
Debut album penuh The Doors dirilis Januari 1967 termasuk di dalamnya drama musikal “The End” selama 11 menit. Morrison dan Manzarek yang menyutradarai film promosi (sekarang disebut musik video) untuk single pertamanya “Break on Through”, yang kemudian disusul “Light My Fire”. Kemudian “Strange Days” dirilis, dan popularitas mereka pun kian menggila. Mereka menggabungkan blues dan rock dengan psychedelia yang belum pernah terdengar sebelumnya.
Nama The Doors melambung karena reputasi Morrison sebagai penantang, pemberontak, simbol seks dan “penghibur” sejati di atas panggung. Dia menikmati hawa yang mengikutinya sebagai bintang, walaupun pada akhirnya dia merasa tertekan dengan keterbatasan hidupnya sebagai public figure.
Pada 8 Desember 1970, di ulang tahunnya yang ke 27, Morrison merekam sesi puisi lainnya. Ini merupakan titik balik bagi kehidupannya. Selama penampilan terakhirnya di Ware House, New Orleans- Lousiana pada 12 Desember 1970, Morrison yang mengalami penurunan mental, beberapa kali membanting mikrofon ke lantai panggung. Setelah keadaannya sedikit membaik, The Doors kembali ke akar dengan merilis album “L.A. Woman” ditahun 1971.
Bulan Maret 1971 Morrison pindah ke Paris untuk istirahat dari kegiatan panggungnya dan berkonsentrasi dengan tulisannya, berharap untuk dapat kembali hidup normal. Namun nasib berbicara lain. Morrison meninggal pada 3 Juli pada usia ke 27. ditemukan di bath tub oleh Curson kekasihnya. Menurut biografi yang ditulis Stephen Davis, dilaporkan Morrison ditemukan dengan darah kering di sekitar mulut dan hidungnya dan tanda besar di dadanya yang menandakan kalau penyebab kematiannya karena tuberculosis.
Pasca The Doors

Meski sudah lebih dari 30 tahun sejak kematiannya, popularitas Morrison tidak berkurang. Hal ini antara lain disebabkan oleh karisma dan pengaruh musikalnya yang melekat dan menjadi inspirasi bagi pemusik setelahnya, yang akan menjadi idola dan menurunkan referensi ini pada generasi berikutnya.
Sebagai salah satu penyanyi dan penulis lagu paling populer dan menginspirasi di sejarah musik rock, Morrison menjadi salah satu panutan seorang rockstar; bermuka masam, seksi, androgynous, penuh skandal dan misterius. Celana kulit yang digunakannya ketika di panggung menjadi stereotipe pakaian rockstar.
Penampilan Morrison menginspirasi banyak musisi ternama lainnya, seperti Nick Cave (Nick Cave and the Bad Seeds), Richard Ashcroft (ex-The Verve), Iggy Pop (The Stooges), Glenn Danzig (Danzig), Patti Smith, Ian Curtis (Joy Division), Henry Rollins (Black Flag), Ian Astbury, Perry Ferell (Jane’s Addiction, Porno For Pyros), Scott Weiland (ex-Stone Temple Pilots, Velvet Revolver), Trent Reznor (Nine Inch Nails), Marilyn Manson, Eddie Vedder (Pearl Jam), Ville Valo (HIM), Billy Idol, Siouxsie Sioux (Siouxsie and the Banshees), Noir Désir dan Jeff Martin.
Iggy Pop mengaku terinspirasi oleh Morrison ketika melihat konser The Doors di Ann Arbor, Michigan. Salah satu lagu populer Iggy yang berjudul “The Passenger” ditulis berdasarkan salah satu puisi Morrison.
Ada pula seorang profesor Literatur Perancis di Duke University, Wallace Fowlie, pernah menulis buku yang berjudul Rimbaud and Jim Morrison: “The Rebel as Poet – A Memoir”. Biopic tentang The Doors pernah dibuat ditahun 1991 oleh Oliver Stone. Dibintangi oleh Val Kilmer as the man himself, dengan penampilannya yang gemilang.
Dalam lagu “The Irony of Dying On Your Birthday” yang dibawakan band emo masa kini, Senses Fail, menyebutkan “I want to die like Jim Morrison. I wanna die like God on the cover of Time”. Lain lagi dengan Radiohead, dalam lagunya “Anyone Can Play Guitar” terdapat lirik “Grow my hair. I wanna be Jim Morrison” yang menggambarkan kekaguman dan pengidolaan remaja yang sangat besar terhadap Morrison.

Kematian Jim Morrison di Investigasi Ulang?

Surat kabar UK “The Mail on Sunday”, seperti diberitakan Rollingstone.com, menemukan keganjilan dan meminta kepada pihak yang terkait untuk menyelidiki ulang kasus kematian Jim.
Berdasarkan surat keterangan yang keluar saat kematiannya, dan inilah yang diketahui publik luas, Morrison ditemukan telah tak bernyawa di bathtub apartemennya di Paris, Perancis, dan meninggal secara alami.
Namun berdasarkan buku yang ditulis oleh Sam bernet pria Perancis sahabat dari Jim Morrison yang juga mantan wartawan New York Times, penyebab kematian vokalis yang makamnya selalu ramai dikunjungi para fans ini disebabkan oleh overdosis tinggi karena penggunaan heroin di sebuah club bernama the Rock ‘n’ Roll Circus club di kota Paris.
Menurut Bennet, tubuh Morrison kemudian dipindahkan ke dalam bathtub untuk menutupi kejadian sebenarnya dan pihak tertentu merekayasa cerita agar jaringan narkoba yang dekat dengan kehidupan Morrison tidak terlacak.

Grammy Buat The Doors

Band yang terdiri dari Jim Morrison, Robbie Krieger, John Densmore dan Ray Manzarek ini mendapatkan penghargaan karena kontribusi mereka terhadap musik rock n roll. Selain The Doors kabarnya The Grateful Dead juga akan dikenang dengan pemberian lifetime achievement gong pada pada tanggal 11 Februari 2007.

FILM TENTANG THE DOORS


When You're Strange: A Film About the Doors, Morrison Tak Pernah Mati

Resensi Film Bagus kali ini memilih sebuah film dokumenter berjudul When You're
Strange: A Film About The Doors , sebuah film yang akan membuat anda percaya bahwa JimMorrison tidak pernah mati.
Tidak ada satu hal pun tentang vokalis The Doors yang terlihat kuno atau samar-samar dalam film dokumenter yang menarik ini. Terutama saat banyak orang masih takjub terhadap sosok Morrison yang muda dan segar.
Sementara dikenal sebagai motor The Doors sekaligus simbol semangat perlawanan di tahun 60-an, Morrison mempunyai "rival" yang sangat signifikan - ayahnya sendiri. Sang ayah, seorang perwira Angkatan Laut yang bertempur di Vietnam, memaksa Morrison berhenti bermusik karena dianggap tak berbakat.
When You're Strange menampilkan bakat Morrison dan juga spirit antimapan-nya melalui cuplikan-cuplikan yang diklaim sebagai "never seen before". Kita tidak melihat terlalu banyak porsi tentang teman-temannya di The Doors, Ray Manzarek, Robby Krieger, dan John Densmore, walaupun mereka sesungguhnya musisi yang berpengaruh di dalam band.
Coverage lengkap dan menyeluruh bukanlah point dari film ini. Sebaliknya, film lebih banyak menampilkan arsip berupa footage menarik tentang pertunjukan di masa-masa awal, konser, dan sesi dalam studio. Tidak ada pakar yang berbicara layaknya film dokumenter.
Penulis/sutradara Tom DiCillo agak berlebihan dengan retorikanya, menjelaskan Morrison sebagai "an ancient shaman". Narasi terukur oleh Johnny Depp mampu mengimbangi ke-lebay-an DiCillo ini.
Dokumenter ini tidak mencoba memecahkan misteri seputar kematian Morrison yang di Paris pada usia 27. Tetapi kegemarannya akan alkohol dan narkotika tetap ditampilkan. DiCillo mengakhiri film dengan kematian Morrison tetapi tidak menjelaskan tentang The Doors setelahnya, popularitas kemudian, dan peran penting mereka dalam sejarah rock.
The Doors menyulut api rock n' roll hanya selama 54 bulan, setelah dibentuk oleh Morrison dan Manzarek saat mereka belajar film di UCLA. 
Kita bisa melihat mereka sebagai teman nge-band yang akrab saat melihat footage di tempat latihan atau belakang panggung.
Beberapa adegan berpotensi membingungkan. Cuplikand dari HWY, film eksperimental buatan Morrison tahun 69, bercampur dengan footage milik The Doors. Tanpa penjelasan, adegan-adegan itu bisa saja dikira sebuah rekontstruksi dengan menampilkan aktor yang berperan sebagai Morrison. Suasana muram terasa ketika cuplikan dari HWY menampilkan Morrison di jalan ditingkahi suara penyiar radio yang mengabarkan kematiannya. Footage-footage langka seperti ini yang membuat When You're Strange menjadi menarik.

Sutradara : Tom DiCillo
Penulis : Tom DiCillo
Pemain : Johnny Depp (narasi), The Doors

TENTANG SID VICIOUS DAN TERBENTUKNYA SEX PISTOLS



Latar Belakang

John Simon Ritchie-Beverrly lahir di London pada 10 Mei 1957 ibunya adalah anne, tapi Sid kecil lahir tanpa didahului stastus perkawinan sah dari kedua ortunya.Sang ibu, yang punya nama gadis Anne Randall, tertarik dengan seorang lelaki yang bernama John Ritchie sewaktu masih tinggal di London sebelah Tenggara. Pertemuannya ditandai dengan masuknya Anne ke dalam Angkatan Udara Kerajaan Inggris. Mereka tinggal bersama di kawasan Lee Green. Dan dari hubungan itulah Sid lahir.
Sayangnya, begitu lahir, John yang harusnya bertanggung jawab malah pergi meninggalkan Anne. Jadi, Sid yang dulu masih dipanggil Simon cuma punya Anne sebagai orang tua yang membesarkanya. Ketika Sid berumur tiga tahun, dia dibawa jalan-jalan sama ibunya ke Ibiza, Spanyol.Ceritanya, Anne pengen keluar dari masalah yang dialaminya di London. Eh, bukannya seneng, Anne malah tambah dililit utang. Akhirnya dia terpaksa pulang dan hidup bersama ibunya. Buat hidup, dia bekerja di sebuah pub jazz.

Sekolah

Sid juga udah mulai masuk SD di Soho Primary School. Tapi toh akhirnya Sid harus berpindah-pindah sekolah gara-gara terus-terusan jadi korban ejekan teman sekolahnya. Nggak heran kalo Sid lebih memilih jadi penyendiri.
Sid Vicious
Sebenernya setelah itu Sid dan ibunya Anne hampir aja bernasib mujur gara-gara Anne diajak kawin sama Chris Beverley, seorang pria mapan asal Oxford yang juga berniat mengadopsi Sid . Eh, begitu Simon mau diadopsi, Chris ini meninggal karena sakit. Anne yang udah ganti nama jadi Anne Beverly pun sendirian lagi. Tapi kali ini kehidupan mereka lebih mapan karena Chris berasal dari keluarga kaya. Simon pun masuk di sekolah swasta yang mahal.

Drop Out

Tapi bersekolah di sekolah orang kaya ternyata malah membentuk jiwa Simon (Sid) jadi pembangkang. Mungkin dia udah muak sama peraturan sekolah itu yang kelewat ketat. Contohnya aja, dia cuek biang ke senior-seniornya kalo dia udah nggak percaya lagi sama yang namanya Tuhan.
Udah gitu, di umur 14 tahun dia mulai suka melakukan hal-hal aneh di kamarnya. dia suka banget pake baju perempuan sambil ngaca. “Tapi gue cuma ngelakuinnya sekitar dua bulan. Gak tau kenapa, gue suka eksperimen dengan seks. Gue nggak tertarik dengan straight sex waktu itu,” kata Simon.
Anne kebingungan menghadapi perubahan sikap Simon. Bayangin aja, keluar masuk sampai lima sekolah dan selalu bayar mahal untuk pendaftarannya. Tau diri, Akhirnya Simon memutuskan untuk men-DO-kan diri dan mulai bekerja serabutan. Pekerjaan pertamanya adalah sebagai buruh di sebuah pabrik. Tapi nggak lama, Simon pun pengen sekolah lagi. Dia akhirnya nekat ngambil sekolah fotografi di Hackney College of Futher Education.
Disinilah dia bertemu dengan John Lydon yang jadi sohib kentalnya bertahun-tahun. Bersamanya, dia terobsesi dengan musik glam rock yang dulu diusung Marc Bolan dan David Bowie.
Saking gilanya dengan David Bowie, kamar Simon juga dipenuhi poster Bowie. Karena seneng sama keluarga kecil Simon, John akhirnya memutuskan untuk tinggal di kamar Simon. Mereka berdua sering ngelakuin hal gila kayak bereksperimen dengan dandanan. Simon asik ngecat kukunya dengan pernis yang mengkilat dan jalan-jalan pake sendal. Trus si John sibuk bikin rambutnya jadi kriwil-kriwil jadi gede banget.

Ganti Nama

Karena kelakuan Simon makin gila, Anne dan Simon melakukan “gencatan senjata”. Hasilnya, mereka berdua sepakat untuk berpisah sementara. Simon gantian tinggal sama John di belakang stasiun kereta api. Lewat John pulalah Simon berganti nama menjadi Sid Vicious. Konon, nama Sid diambil dari nama tikus piaraan John. Sementara Vicious dikasih gara-gara tikus itu pernah menggigit tangan bokap John. Jadilah Sid Vicious.

Pertemanan mereka berdua emang unik karena saling mengisi. John menularkan sifat humorisnya kepada Sid yang penyendiri. Sementara John jadi ketularan cool dan sedikit punya dark side. Tapi mereka berdua punya kesamaan. Dan apalagi kalo bukan narkoba. Mereka berdua pernah nenggak speed dalam suatu pesta. Eh, begitu digerebek polisi, Sid dan John malah nyerang tuh police sampe gigi depannya copot.
Untuk melanjutkan hidup, mereka berdua kerja serabutan lagi. Dari kerja direstoran, toko sepatu sampe ngamen di stasiun kereta bawah tanah pun mereka lakoni. Ada yang Lucu soal ngamen di stasiun kereta. Ceritanya Sid udah siap dengan gitar, sementara John udah siap dengan biolanya. Tapi ada satu masalah. Mereka sama sekali nggak bisa memainkannya. yang ada mereka cuma joget-joget sambil megang instrumen itu sambil nyanyiin sebuah lagu dari Alice Cooper berulang-ulang.
Kalo cara-cara diatas masih kurang juga, Sid nggak takut ngelanggar hukum juga. Dia nekat jadi bandar narkoba walaupun dalam jumlah yang sedikit. Gilanya lagi, Sid kadang juga nekat nyari duit di bar gay. Dia kadang rela ditanggap kalo lagi mabok dan dapet duit darisana.
Di saat itu Sid dan John juga punya geng yang suka nongkrong di suatu toko clothing di kawasan King’s Road. Toko yang punya nama Sex ini nantinya akan jadi titik awal masuknya Sid ke Sex Pistols. Geng Sid isinya empat orang yang menamakan dirinya Four John. Four John disini adalah karena anggotanya semua bernama John . Seperti yang sudah disebut, Sid punya nama John Simon, terus ada John Lydon, John Wardle dan John Gray.
Pemilik Sex, Malcolm McLaren dan Vivienne Westwood udah ngerti banget kalo keempat orang ini gila semua. Mereka benci yang namanya kemewahan dan glamoran kalangan jet set Inggris. Terus kadang mereka suka iseng ngebakar tangan mereka dengan rokok dan hal-hal menyakitkan lainnya.

Sex Pistols

Hidup bengal dan rusuh buat Sex Pistols
Agustus 1975, Malcolm McLaren, pemilik toko “Sex” berniat untuk merombak tokonya. Dia udah punya konsep terbaru untuk bikin tokonya laku jadi tempat tongkrongan. Selain menjual berbagai macam asesoris punk, dia juga menjual fetish gear dan berbagai macam barang-barang dari kulit asli.
Bersamaan dengan itu, Malcolm juga ingin tokonya jadi pusat tongkrongan anak-anak punk yang lagi menjamur di London. Dia berharap bisa melesatkan tren punk ini lewat “bengkel kebudayaannya”. Caranya, ya dia juga jadi pemandu bakat yang nyari band-band punk yang mau diorbitkan.
Kebetulan, dia juga udah punya orang-orangnya. Di sana, udah ada gitaris Steve Jones, bassis Glen Matlock dan drummer Paul Cook yang sedang kerja part-time di Sex. Kebetulan mereka udah direken sebagai pemusik dadakan yang punya masa depan oleh Malcolm. Sekarang tinggal nyari frontman.

Jhony Rotten

Nah, kebetulan (lagi) John Lydon yang masih sering nongkrong di Sex bisa menarik perhatian Malcolm. Atittude yang gila dan urakan bikin cowok yang pernah jadi manajer New York Dolls ini kesengsem.
Nggak begitu lama, John Lydon pun diaudisi. Lagunya… tetep Alice Cooper!tapi suara John yang rada fals malah bikin cowok pirang ini diterima masuk band. Biar makin nge-punk, Malcolm mengganti nama John Lydon menjadi Johnny Rotten. (padahal dia baru aja ngeganti nama sahabatnya jadi Sid Vicious!).  
berdirilah Sex Pistols dengan empat formasi: Johnny Rotten, Paul Cook, Glen Matlock, dan Steve Jones.
Penampilan mereka yang pertama adalah di St. Martin School of Art di West End pada 6 November 1975. Mereka dianggap membawa musik baru yang “berbahaya” karena jelas-jelas nggak enak didenger (apalagi suara vokalisnya) dan liar. Well, itulah yang dibawa Sex Pistols di awal-awal kemunculannya. Istilah punk pun mulai dikenal orang banyak. Steve Jones malah membuat pernyataan yang sampe sekarang dikenal orang sebagai imej Sex Pistols. Dia bilang, “We’re not into music, we’re into chaos!” Jadi punk itu emang 90 persen attitude, selebihnya musik.

Sampai tahun 1976, demam Sex Pistols melanda Inggris. Semua orang membicarakan band gila ini. Salah satu dari fans itu terselip Sid Vicious. Dia malah sempet ngiri gara-gara sahabatnya jadi vokalis band yang pertama dia liat penampilannya di Sex pada December 1975 itu. Lucunya, hubungan Sid dan Johnny yang dekat nggak ketauan personel Pistols lainnya.
Sid pun berusaha pengen kenal dengan anggota band lainnya. Kayak pengen diakuin, Sid selalu ingin membantu Pistols yang kadang beraksi nggak wajar. Bayangin, nih band nggak mau tampil berdasarkan jadwal. Pengennya langsung tampil dadakan, dan kalo bisa di tempat yang nggak lazim. Tentu aja yang marah adalah pihak keamanan. Kalo udah gini, Johnny dkk sering mengancam akan berbuat rusuh. Nah, kalo udah ada komando rusuh dari Johnny, Sid pasti turun tangan bantuin Pistols.

Band Rusuh

Atittude punknya makin lama makin menjadi. Parahnya, Sid juga mengonsumsi narkoba jenis speed yang kadang disuntikkannya. Kalo udah gini, dia sering banget terlibat perkelahian di bar dan di pertunjukan band. Rasa cintanya sama band punk juga makin timbul gara-gara mendengar album pertama The Ramones. Malah, bassisnya, Dee Dee Ramones, dijadikannya sebagai hero.
Sayangnya, kelakuan Sid makin menjurus ke arah brutal. Setiap Pistols manggung, pasti ada keributan. Dan dalangnya pasti Sid Vicious. Dia pernah menghajar orang yang dudukin tempat Vivienne Westwood (temannya, desainer yang juga merancang pakaian di Sex) tanpa bilang-bilang. Entah cari perhatian atau nggak, tapi Sid lantas makin jadi icon buat Pistols. Apalagi dalam press release Pistols ada pernyataan “We Hate Everything”. Pers makin yakin kalo Pistols adalah band rusuh.

Kelakuan Sid selalu dalam rangka membela temannya di Pistols. Dia malah pernah ribut sama sebuah band heavy metal gara-gara mereka nggak mau minjemin alat ke Pistols. Alhasil, Sid digebukin. Baginya nggak apa-apa digebukin asalkan ngebela temen. Sid pun mulai dapet perhatian dari anggota Pistols lainnya.
Juni 1976, Pistols udah menguasai Inggris. Pistols udah jadi icon di punk scene London. Bersama mereka Sid juga menjadi perhatian di scene itu. Mereka selalu memakai pakaian dari Sex. Well, mungkin inilah suatu bentuk promosi endorsing. Ternyata sponsor pakaian udah terpikirkan oleh industri punk pada masa itu.
Sid juga sempet membentuk kelompok pecinta Sex Pistols bersama Billy Idol dengan nama Bromley Contingent. Nggak cuma itu, dia juga sempet membentuk band dengan nama Siouxie and The Banshees. Selain itu dia juga sempet membentuk band iseng bernama The Flower of Romance. Dibilang band iseng karena dibentuk di studio, nggak pernah bikin rekaman, dan malah nggak pernah manggung. 
Tapi trademark rusuh makin lekat pada Pistols. Salah satu peristiwa dahsyat itu terjadi di 100 Club Punk Festival. Pada saat Pistols manggung, Sid melempar gelas ke arah panggung. Tapi gelas itu malah membentur pilar ruangan. Pecahannya mengenai mata seorang pengunjung cewek. Belakangan diketahui kalo cewek itu jadi buta lantaran insiden itu.  
Sid ditahan polisi. Pistols didenda. Pers menjuluki Sid sebagai anggota ke-5 Pistols. Ujung-ujungnya 100 Club nggak boleh ngadain gig lagi. 
Lagi dirundung masalah, ternyata ada kabar bagus. Malcolm, sang manjer berhasil nembusin Pistols ke label EMI dengan advance sebesar 40 ribu pound.angka itu gede banget untuk ukuran band yang belum dikenal. Tapi karena udah nggak boleh manggung, EMI jadi ngerasa malu punya band bengal.

Tapi lagi-lagi Sid datang menolong. Pistols pun diselundupin di setiap festival punk. Band The Flower of Romance jadi cover-na. Begitu The Flower dipanggil, yang muncul malah Pistols. Seru abis.
Di balik serunya kerusuhan Pistols, ternyata band ini punya masalah intern. Siapa yang ngira kalo ternyata sang bassis Glen Matlock nggak disuka ma personel lainnya. Alasannya karena dia terlalu kalem dan berasal dari kelas menengah. ternyata kondisi itu dianggap kurang radikal oleh personel lain.
Mereka pun berpikir untuk menendang Glen Matlock keluar. Dan… enter Sid!

Akhir Hidup

Film

“Sex Pistols bubar gara-gara Sid Vicious. Sid Vicious yang terlalu dekat dengan pacarnya Nancy Spungen .Kami udah muak ngeliat tingkah violence-nya. Gara-gara dia juga, konser kami di Winterland berantakan,” begitu kata Steve Jones kepada tabloid musik Inggris NME.
Udah gitu praktis Steve dan Paul Cook cabut nggak mau ketemu Sid lagi. Sementara Johnny Rotten langsung hilang tanpa kabar. Malcolm sebagai manajer pun udah ngerasa kalo band yang dikelolanya udah nggak mungkin bisa diterusin.
Tapi bukan manajer kalo nggak bisa mencari peluang. Di antara kericuhan Pistols, Malcolm pun akhirnya tetap memutuskan untuk memanajeri Sid. Soalnya ada seorang sutradara yang tertarik mau membuat film dokumenter dan musikal berjudul Rock n Roll Swindle. Film ini sebenernya cuma film dokumenter musik yang dibalut sama perjalanan karir Sex Pistols. Serunya, syuting film ini dilakukan di Paris. Dan lucunya, cuma Sid yang jadi pusat perhatian. Sementara personel Pistols yang lain ogah berangkat ke Paris, Johnny Rotten cuma kebagian diwawancara terpisah. Sementara Steve dan Paul nggak pernah muncul.
Februari 1978, Sid berangkat bareng Nancy ke Perancis untuk syuting. Di Paris mereka hidup mewah di hotel mahal. Maklum, mereka kan dibayarin sama label. 
Malah, sebelum menginjakkan kaki di Paris, Sid sempet OD pas pesawatnya transit di New York. Yang ada dia langsung dibawa ke RS Jamaica untuk di-detox.
Balik ke syuting film, Sid emang nggak suka sama film. Makanya, part adegannya nggak sukses terus alias jelek. “Gue nggak suka akting. Abis jadi orang yang bukan diri kita sendiri. It’s all bullshit!” kata Sid.
Seluruh kru film sempet bingung ngebujuk Sid untuk berakting. Akhirnya cuma Nancy doang yang bisa membujuknya untuk mulai akting. Syaratnya, Sid dibolehkan ngerombak lagu ciptaan Paul Anka yang berjudul ‘My Way’ (yang dipopulerkan oleh Frank Sinatra). Ada bagian lirik lagu My Way yang diacak-acak menjadi I ducked the blows / I shot it up / and killed a cat. 
Waktu adegan My Way ini digambarkan Sid sebagai solois yang bergaya rapi. Terus di akhir lagu, dia nembakin penonton dengan pistol. Wah, untung cuma syuting!

Bikin Band

Sid dan Nancy

Lagi asik bikin film, mereka balik ke London. Tiba-tiba Sid ketemu sama temen lamanya, Glen Matlock. Masih inget, kan? itu lho bassis Pistols sebelum Sid masuk. Walaupun media menulis soal “persaingan” mereka, tapi sebenernya antara Sid dan Glenn masih terjaga pertemanan-nya.
Setelah nongkrong di bar bareng, mereka sepakat ngebentuk band. Band yang akhirnya diberi nama The Vicious White Kids ini juga mengajak Rat Scabies dari The Damned dan Steve New. Sid pun naik pangkat jadi vokalis (soalnya udah pasti Glenn yang mengisi posisi bassis).

Pertunjukan pertama band dadakan ini berlangsung sesaat setelah mereka menggelar audisi. Di situ Nancy ikutan jadi backing vokal. Konser yang diadakan di Electric Ballroom London ini lumayan dapet tanggepan asik dari penonton. Sementara itu, walaupun Pistols udah bubar, Virgin tetep ngeluarin singel Pistols yang belum keluar. Malah lagu ‘My Way’ juga dilepasnya sebagai singel.
Tapi rupanya Inggris sudah alergi sama Pistols. Semua singel rilisan Virgin yang berhubungan sama Pistols dilarang diputar di radio-radio. Ya udah, gara-gara merasa dimusuhi Inggris, Sid dan Nancy akhirnya mencoba memutuskan untuk tinggal di New York. Tapi keputusan ini malah membawa mimpi buruk bagi mereka bedua.Nancy pun berhasil ngomporin Sid dengan hidup slenge’an ala rock star di kota yang punya julukan The Big Apple itu. Begitu sampe di New York, mereka langsung check-in di Chelsea Hotel, di West 23rd Street. Hotel ini udah terkenal banget sebagai surga narkoba bagi para artis yang singgah di New York.
Nancy Spungen and Sid ViciousNancy Spungen and Sid Vicious
Sid dan Nancy udah bagai zombie berjalan. Duit 15 ribu pound yang diberi dari Malcolm habis dalam beberapa hari hanya untuk membeli heroin dan morphine. Nancy udah mengalami gangguan ginjal, sementara kelakuan sadomasochis Sid semakin parah gara-gara drugs. Waktu itu dia belum genap 21 tahun.
Lagi asik-asiknya teler, Sid dan Nancy masih nekat ngeladenin wawancara untuk film punk documentary Dead On Arrival. Di wawancara itu, cuma Nancy yang sanggup menjawab semua pertanyaaan. Sementara itu Sid udah fly berat dan sesekali mencoba menyundut muka Nancy dengan rokok. Mereka juga sempet datengin scene punk di kota New York. Dan Sid seperti biasa jadi tamu istimewa yang didaulat nyanyi di panggung. Cowok yang doyan pake kalung bermata gembok ini menyanyikan My Way dengan menggantikan total liriknya menjadi I killed the cat. Alasannya, karena dia lupa liriknya.

Nancy Tewas
Kelar acara itu, tepatnya dari awal Oktober 1978, mereka berdua langung mengisolasi diri di kamar hotel. Dan suatu pagi di tanggal 12 Oktober 1978, kamar nomer 100 tempat mereka berdua menginap ramai didatengin polisi New York. Di dalamnya Sid sedang diinterogasi.

“Kenapa kamu lakukan itu, sid?

“Ngelakuin apa?”

“Kenapa kamu membunuhnya?”

“Gue nggak membunuhnya.”
Sid duduk termenung dengan borgol di tangan. Sementara di bathtub kamar mandi terbaring jasad Nancy Spungen bersimbah darah. Perutnya ditusuk pisau. Banyak teori yang muncul seputar kenapa dan sama siapa Nancy terbunuh. Cuma karena hanya Sid yang selalu bersama Nancy seharian dan pisau yang ditemukan adalah milik Sid, tentunya semua orang langsung menuduh Sid sebagai pembunuh.Sid dilaporkan turun ke lobby dan berteriak minta bantuan ambulans kepada front office. Tapi bukannya ambulans justru polisi yang dikirim. Johnny Rotten udah males berkomentar waktu dimintai keterangannya. “Kenapa juga gue harus punya perasaan terhadap ini semua,” kata Johnny waktu itu.
Sid langsung di bawa ke penjara Rikers Island. Selama empat hari dia ditahan di penjara yang terkenal brutal banget itu. Pengadilan kasus Sid digelar tanggal 13 Oktober 1978. Dia menghadapi tuduhan pembunuhan kelas dua. Dengan hukuman minimum 7 sampai 25 tahun, Sid baru boleh bebas dengan membayar uang jaminan 25 ribu pound. Dan untungnya Virgin Records setia membantunya. Pada 21 November 1978 Sid bebas dengan uang jaminan.
Kalo ada orang yang bener-bener setia menemani Sid selain manajernya di saat-saat genting, pasti lah sang ibu, Anne Beverley, yang udah bela-belain tinggal di New York. Manajer dan ibunya ini melakukan apa aja biar kasus pembunuhan Nancy makin jelas. Anne pun nggak segan-segan menandatangani kontrak dengan New York Post untuk kerjasama peliputan. Sementara Malcolm dilaporkan telah menyewa detektif swasta untuk menyelidiki kematian Nancy Spungen. Di London, kaos bertuliskan Sid Is Innocent udah laku dicari orang.
Namun semua terlambat. Sid udah kehilangan Nancy. Jiwanya jadi terguncang. Malah, di suatu bar, dia nekat mengancam bunuh diri dengan menyiletkan bohlam pecah ke pergelangannya.
Pernah juga Sid mencoba bunuh diri dengan loncat dari jendela hotel gara-gara sakaw. Untungnya Anne dan Malcolm cepat mencegahnya dan langsung melarikan Sid ke rumah sakit terdekat.
Saking udah kehilangan Nancy dan sakaw, Sid akhirnya ngelakuin kerusuhan lagi di sebuah bar bernama Hurrah’s di New York. Di situ dia terlibat perkelahian dengan seorang cowok gara-gara Sid menggoda pacarnya. Malangnya cowok itu terluka sampe membutuhkan lima jahitan. Nggak heran Sid harus menjalani 55 hari di penjara pada tanggal 9 December 1978 sampai dia bebas dengan uang jaminan (lagi) pada 1 Februari 1979.
Hampir dua bulan di penjara ternyata nggak bikin dia sober. Walau dia udah bisa dibilang bersih, tapi keinginan untuk nyuntik tetep besar. So, pas dia keluar penjara, hari itu juga ia menyuntik lengannya dua kali dengan heroin. Wajar aja, karena bukannya dibawa ke tempat yang aman sambil nunggu pengadilan, dia malah dibawa ke pesta temen-temennya. Untuk pertama kalinya Sid nyuntik lagi di tengah malam pas pesta lagi kenceng-kencengnya. Karena udah nggak terbiasa, dia terbangun pukul 3 pagi dan nyuntik untuk kedua kalinya….dan terakhir kali.
Setelah itu, Sid OD pada tanggal 2 Februari 1979. Ia meninggal disaksikan ibu dan teman-temannya. Waktu itu ia baru menginjak usia 21 tahun.

Tujuh tahun kemudian, sutradara Alex Cox membuat perjalanan kisah cinta Sid dan Nancy ke dalam sebuah film. Film yang berjudul Sid And Nancy: Loves Kills ini dibintangi Gary Oldman sebagai Sid dan Chloe Webb sebagai Nancy. Di film itu juga diceritakan gimana peristiwa terbunuhnya Nancy (walaupun tetep tidak ditampilkan siapa pembunuh sebenernya).

SEKILAS TENTANG DEEP PURPLE



Dipimpin oleh gitaris Ritchie Blackmore dan keyboardist Jon Lord, Deep Purple menggunakan unsur psychedelia dan classical dalam musik gaya bar-band mereka.
Mereka memikat dunia dengan album berpengaruh Deep Purple in Rock, yang dipandang sebagai pelopor hard rock progresif. Dan di Fireball, mereka meningkatkan volume dan dengan Machine Head, mereka menaklukan dunia hard rock dan menantang Led Zeppelin dalam hal popularitas.


Deep Purple dibentuk tahun 1968 oleh Ritchie Blackmore pada gitar, Jon Lord pada organ Hammond, Rod Evans pada vokal, Nick Simper pada bass dan Ian Paice pada drum. Band meraih kesuksesan besar dengan men-cover "Hush" dari Joe South, yang muncul dalam album debut Shades of Deep Purple. 




Band mendapat pesanan untuk mendukung Cream dalam Goodbye Tour, namun segera diberhentikan karena mendapatkan sambutan luar biasa yang mengancam band utama. Tahun 1969, dua album sukses dirilis yakni The Book of Taliesyn dan Deep Purple, yang terdapat beberapa track yang diiringi symphony orchestra.
Setelah tiga album dan tur intensif di AS, Ian Gillan menggantikan Rod Evans dan Roger Glover menggantikan Nick Simper. Pergantian ini membentukan line-up Deep Purple yang paling beresensi. 




Begitu dibentuk, line-up baru ini membuat album live monumental Concerto for Group and Orchestra, komposisi tiga bagian yang ditulis Jon Lord dan dimainkan bersama London Philharmonic Orchestra di Royal Albert Hall. Bersama Five Bridges dari The Nice, Concerto tergolong kolaborasi awal antara band rock dengan orkestra.
Setelah album orkestra, Deep Purple membuat album berpengaruh, Deep Purple in Rock, yang dianggap sebagai musik hard rock progressive. Setelah itu mereka rilis Fireball dan Machine Head, album terkenal yang membawakan mereka ke puncak ketenaran dunia. Beberapa bulan kemudian, rekaman konser 2 pertunjukan mereka di Osaka dirilis dengan judul Made in Japan, sebuah album ganda live yang merupakan salah satu album live terbaik hingga hari ini. Line-up klasik ini juga menghasilkan Who Do We Think We Are, album yang menampilkan hit “Woman from Tokyo”.




Dengan ketenaran luar biasa yang dicapai, ketidak cocokan pun terjadi. Ian Gillan dan Roger Glover berpisah dengan Deep Purple dan posisi mereka diganti penyanyi baru David Coverdale dan bassist/vokalis Glenn Hughes dari Trapeze. Line-up ini membuahkan album heavy blues rock Burn, salah satu album tersukses Deep Purple. Hughes dan Coverdale menambahkan elemen R&B/soul kedalam musik band yang sangat terasa dalam album berikutnya Stormbringer. Ritchie Blackmore tidak menyukai sound ini dan meninggalkan Deep Purple untuk membentukkan Rainbow.
Dengan kepergian Blackmore, Deep Purple membuka lowongan besar yang kemudian diisi Tommy Bolin, gitaris Amerika yang sudah pernah bergabung dengan Zephyr, James Gang dan Billy Cobham. Penggabungan Bolin kelihatan ideal, akan tetapi album terbitan tahun 1975, Come Taste the Band, gagal. Album ini tidak disukai peggemar lama dan tidak sanggup menarik penggemar baru, dikarenakan sound yang agak jauh dari sound orisinil Deep Purple. 




Bolin ternyata belum siap mengisi sepatu besar Blackmore sehingga mendapatkan ejekan dari audiens dalam beberapa pertunjukan yang permainannya tidak stabil. Kecanduan dirinya atas heroin juga memperparah keadaan dan setelah tur traumatis Come Taste the Band, band bubar. Tidak lama setelah itu, Tommy Bolin meninggal dunia akibat overdosis heroin dalam perjalanan tur mendukung Jeff Beck.
Selanjutnya, beberapa anggota Deep Purple cukup berhasil dalam karir pribadi melalui band masing-masing antara lain Rainbow, Whitesnake dan Gillan. Sementara itu, sering ada upaya promotor untuk membentukkan kembali Deep Purple, terutama dengan kembalinya pasar hard rock pada dekade 1980an.
Deep Purple resmi dibentuk kembali pada April 1984. Pernyataan pembentukan kembali dilontarkan The Friday Rock Show BBC, bahwa line-up klasik awal 70an yang terdiri dari Blackmore, Gillan, Glover, Lord dan Paice telah dibentuk kembali dan mulai merekam materi baru. Band menandatangani kontrak dengan Polydor di Eropa dan Mercury di Amerika. Oktober 1984, Perfect Stranger dirilis dan didukung tur dari New Zealand sampai ke Eropa. Tur berjalan sukses dan sewaktu kembali ke Inggris, mereka bermain satu malam di Knebworth dengan dukungan Scorpions didepan 80.000 audiens.




Tahun 1987, line-up ini kembali membuat album The House of Blue Light dan mengadakan tur meskipun penjualan agak menurun. Beberapa show direkam untuk album live Nobody’s Perfect tahun 1988. Dan ditahun yang sama di UK, mereka rilis versi baru “Hush” untuk merayakan 20 tahun terbentuknya Deep Purple. Tahun 1989, Ian Gillan dipecat akibat ketidak-akuran dengan Ritchie Blackmore dan posisinya diganti bekas vokalis Rainbow Joe Lynn Turner. Line-up ini menghasilkan album Slaves and Masters dan sebuah tur.
Namun setelah tur, Turner dipecat dari band berhubung Jon Lord, Ian Paice dan Roger Glover menginginkan Ian Gillan kembali. Blackmore mengalah dan line-up klasik ini dibentuk kembali dan membuat The Battle Rages On pada tahun 1993. Selama tur Eropa musim gugur 1993 yang sukses, ketegangan antara Gillan dan Blackmore kembali muncul dan kali ini Blackmore yang hengkang. Band mengajak Joe Satriani untuk memenuhi show Desember di Jepang. Satriani bergabung hingga tur Eropa 1994 selesai dan sewaktu diajak untuk menetap di Deep Purple, dia menolak karena ingin meneruskan karir solo. Band kemudian mendapatkan Steve Morse, gitaris Dixie Dregs, untuk menjadi pengganti Blackmore yang permanen.


Line-up ini menikmati kesuksesan selama dekade 1990an dan menghasilkan album yang disambut hangat kritikus yakni Purpendicular (1996) dan Abandon (1998). Tahun 1999, Jon Lord, dengan bantuan seorang penggemar, menciptakan kembali Concerto for Group and Orchestra dan diselenggarakan kembali di Royal Albert Hall pada September 1999 dengan The London Symphony Orchestra. Konser mencakup karya dari karir solo setiap anggota maupun Deep Purple dan direkam dalam album In Concert with the London Symphony Orchestra tahun 2000. Beberapa tahun seterusnya, band menghabiskan waktu dalam perjalanan tur yang tiada hentinya hingga tahun 2002, sewaktu anggota pendiri Jon Lord (Jon Lord dan Ian Paice merupakan dua anggota yang menetap disetiap inkarnasi Deep Purple) menyatakan pengunduran diri dari Deep Purple untuk menjalankan proyek orkes pribadinya. Keyboardist veteran Don Airey, eks Rainbow dan Whitesnake, yang pernah membantu Deep Purple sewaktu Lord terluka tahun 2001, diajak bergabung. Tahun berikutnya, Deep Purple rilis album studio pertama dalam lima tahun terakhir, Bananas, dan mengadakan tur. Oktober 2005, 37 tahun setelah pembentukan Deep Purple, mereka rilis sebuah album yang progressive dan eksperimental, Rapture of the Deep, yang dianggap sebagai album terkuat sejak Purpendicular. Peluncuran album diikuti tur dunia.
Meskipun sering diasosiasikan dengan heavy metal, Deep Purple tidak pernah merasa diri sebagai band heavy metal. Akan tetapi, banyak band heavy metal menyatakan dipengaruhi Deep Purple. Deep Purple sering mengganti line-up dan merubah gaya main, namun kecanggihan permainan dengan line-up pemain handal tetap dipertahankan. Beberapa inkarnasi Deep Purple memberikan aspek jazz dan classical ke musik rock gaya mereka dengan menggunakan lagu sebagai sarana untuk memperpanjang solo instrumental.
Sampai hari ini, Deep Purple dengan mantap terus berkarya dalam studio dan melakukan tur keliling dunia sebagai salah satu band yang paling bertahan lama dalam sejarah rock.
Berbagai line-up dalam sejarah Deep Purple ditandai oleh band dan penggemar dengan serangkaian Mark contohnya Mark I, Mark II dan seterusnya. Mark VI dikosongkan karena era tersebut merupakan era sementara Joe Satriani mengisi posisi Ritchie Blackmore selama tur 1994 namun tidak menghasilkan album.

Line up Sejarah Deep Purple

Mark I (1968-1969)
Rod Evans - vokal
Ritchie Blackmore - gitar
Jon Lord - keyboard
Nick Simper - bas
Ian Paice – drum

Mark II (1969-1973)
Ian Gillan - vokal
Ritchie Blackmore - gitar
Jon Lord - keyboard
Roger Glover - bas
Ian Paice - drum

Mark III (1973-1975)
David Coverdale - vokal
Ritchie Blackmore - gitar
Jon Lord - keyboard
Glenn Hughes – bas, vokal
Ian Paice - drum

Mark IV (1975-1976)
David Coverdale - vokal
Tommy Bolin - gitar
Jon Lord - keyboard
Glenn Hughes – bas, vokal
Ian Paice - drum

(1976-1984) Band bubar

Mark II reuni (1984-1989)
Ian Gillan - vokal
Ritchie Blackmore - gitar
Jon Lord - keyboard
Roger Glover - bas
Ian Paice - drum

Mark V (1989-1991)
Joe Lynn Turner - vokal
Ritchie Blackmore - gitar
Jon Lord - keyboard
Roger Glover - bas
Ian Paice - drum

Mark II kembali reuni (1992-1994)
Ian Gillan - vokal
Ritchie Blackmore - gitar
Jon Lord - keyboard
Roger Glover - bas
Ian Paice - drum

Mark VII (1994-2002)
Ian Gillan - vokal
Steve Morse - gitar
Jon Lord - keyboard
Roger Glover - bas
Ian Paice - drum

Mark VIII (2002-sekarang)
Ian Gillan - vokal
Steve Morse - gitar
Don Airey - keyboard
Roger Glover - bas
Ian Paice - drum

Selasa, 14 Februari 2012

BIOGRAFI SINGKAT LED ZEPPELIN

Rasanya tidak ada yang tidak tahu dengan Led Zeppelin, khususnya remaja awal 1970-an, karena begitu dahsyatnya gempuran empat anak muda Inggris ini. Setelah tampil pertama kali di Amerika Serikat, Desember 1968, grup rock lainnya menolak tampil satu panggung saking tidak pede.
Jenis musik yang mereka sajikan hanya perpaduan rock dan blues yang saat itu sudah diusung oleh musisi senior macam Chuck Berry, Muddy Waters, sampai Elvis Presley. Namun, komposisi sound instrument musik mereka yang diilhami dan sekaligus ditukangi James Patrick Page (Jimmy Page)-lah yang membuat grup ini memukau kawula muda kala itu dan melekat di hati penikmat musik rock hingga saat ini.
Pengaruh mereka masih kental lebih dari 30 tahun kemudian. Tidak sedikit musisi rock muda mengakui jenis musik yang dibawakan Zeppelin merupakan referensi penting bagi mereka. Dream Theater, jagoan progresif metal di awal 1990-an, mengabadikan Led Zeppelin dalam album A Change of Season.
Album ini direkam live medley dengan nomor-nomor Zeppelin: The Rover, Achiles Last Stand, dan The Song Remains The Same. Demikian pula dengan album Tribute To Led Zeppelin yang dibawakan oleh grup tahun 1980-an, Great White dan Black Crowes, atau Stairway To Heaven oleh Zakk Wylde (gitaris Ozzy Osborne dan Black Label Society) dan kawan-kawannya.
Debut album Zeppelin dibuat Oktober 1968 di Olympic Studio, London. Saat itu mereka baru bergabung selama 2,5 minggu dan karena seringnya berlatih dan tur, album itu diselesaikan dalam waktu sembilan hari.
Nomor akustik Babe I’m Gonna Leave You merupakan hasil "kencan" pertama Page dengan Robert Plant saat yang terakhir ini mengunjungi rumah Page di musim panas 1968. Seperti layaknya sesama musisi yang baru mulai kenal dan berniat berkolaborasi, mereka duduk bersama mendengarkan karya-karya Presley, Waters, sampai Joan Baez.


Dazed And Confused menjadi trade mark Zeppelin, khususnya saat live ketika Page menggunakan dawai biola untuk menggesek dan memukul senar gitar Gibson agar mengeluarkan efek suara yang unik. Lagu yang dibuka dengan dentuman bas John Paul Jones sebenarnya sudah sering dibawakan di panggung saat Page masih di Yardbirds.
Sejak dirilisnya album pertama, mereka sibuk dengan tur ke berbagai kota di AS. Ketatnya jadwal tur memaksa Zeppelin merekam album kedua di studio di Los Angeles, New York, dan London. Sebagian besar nomor album kedua ditulis di kamar-kamar hotel atau saat di belakang panggung sebelum konser.
"Woman..., you need looooove...," begitulah teriakan melengking panjang Plant pada klimaks Whole Lotta Love. Nomor ini merupakan sajian akhir dari setiap konser Zeppelin, salah satunya dalam konser Live Aid bulan Juli 1985 dan acara ulang tahun ke-40 Atlantic Records di New York tahun 1988.


Zeppelin mengemasnya dengan sebuah "unplugged style" dalam album ketiga yang dirilis tahun 1970. Cikal bakal materi pada album ini dibuat di Wales saat Page dan Plant berlibur dengan berbekal hanya gitar akustik.
Album keempat yang berisikan nomor Stairway To Heaven secara komersial sangat, sangat sukses. Di awal munculnya album ini, antusiasme publik pada umumnya biasa-biasa saja, tidak seperti pada album-album sebelumnya.
Dirilis November 1971, tidak seperti Black Dog atau Rock And Roll yang sekali dengar langsung "nyangkut" di kuping, Stairway diibaratkan seperti anggur yang akan terasa semakin nikmat setelah beberapa kali didengarkan, dan dianggap sebagai salah satu anthem bagi para penikmat musik rock.

Adalah Page yang menggagas agar album keempat ini tidak berjudul. Bahkan, di bagian dalam album tersebut tidak ada sama sekali kata Led Zeppelin, hanya ada lirik Stairway dan empat simbol yang mewakili keempat personel. Nama personel hanya terlihat di piringan hitam di belakang judul masing-masing lagu sebagai penulis.
Page mengaku, dia harus berjuang keras melawan manajemen perusahaan Atlantic Records agar album tersebut tetap dirilis tanpa ada judul. Kenyataan di publiklah yang pada akhirnya membuktikan begitu luar biasanya peminat album ini karena kuatnya komposisi nomor-nomor pada album tersebut.


Meskipun album kelima yang dirilis Maret 1973 dianggap kurang memuaskan, Houses Of The Holy dalam waktu singkat mencapai tangga pertama album terfavorit di Inggris maupun di AS. Sekali lagi, Zeppelin membuat penggemarnya bingung dengan materi lagu mereka yang beragam.
Coba saja dengar D’yer Mak’er, The Crunge, atau No Quarter. Seperti halnya Page, Plant juga tertarik dengan lagu-lagu dari berbagai etnis seperti D’yer Mak’er sangat reggae sekali.
The Crunge disajikan dengan ketukan drum, kemudian Jones mengisi bas dan Page dengan kocokan gitar seperti layaknya musik funky yang bisa mengundang kaki bergoyang. Page menggunakan gitar Fender Stratocaster agar lebih pas mendapatkan sound ala James Brown.


Pertimbangan Jones memutuskan keluar membuat tertundanya rilis double album Physical Graffiti. Dia sudah merasa tidak tahan harus melakukan tur berbulan-bulan yang melelahkan dan memaksa dia meninggalkan keluarga. Beruntunglah, manajemen Zeppelin berhasil menunda keinginan musisi yang paling kalem ini.


Dari 15 nomor dalam album ini, terdapat dua lagu yang cukup unik, Kashmir dan Trampled Underfoot. Corak musik padang pasir dan suara orkestra dalam Kashmir menunjukkan Zeppelin sangat kaya dalam menciptakan berbagai komposisi musik. Trampled juga mengejutkan saat pertama kali didengar karena mengingatkan orang kepada lagu-lagu model Stevie Wonder yang diramu menjadi komposisi yang mengentak keras.
Kurang variasi, begitulah kesan setelah mendengar seluruh nomor album ini. Page sendiri mengakui album ini merupakan "a guitar album" dan dapat dimaklumi sebab dia hanya berdua dengan Plant saat menyusun struktur lagu-lagunya. Album ini memang tidak istimewa, namun tidaklah mengecewakan. Coba pasang dengan volume suara keras, pasti tetap nikmat.


Album kedelapan, In Through The Out Door, dirilis September 1979 ketika tren musik berubah dengan banyak bermunculannya punk rock yang sangat antimusik rock. Namun, album ini masih mampu terjual empat juta keping di AS dan memang di AS. Mungkin karena selera pasar yang berubah, Page dan kawan-kawannya bereksperimentasi dalam penulisan lagu.
Hasilnya, peran Jones sangat dominan dalam penulisan di hampir seluruh materi album ini. Selanjutnya, Page membawa tape hasil rekaman dan melakukan overdub gitarnya di studio pribadinya di Inggris. Dari tujuh nomor, hanya pada nomor Hot Dog saja Jones tidak memberikan kontribusi penulisan.
Dan pada album ini pula terdengar pengaruh irama samba pada lagu Fool In The Rain dan penggunaan variasi suara keyboard pada nomor Carouselambra. Plant mengakui, pengaruh samba muncul saat dia mendengar alunan musik asal Brasil itu melalui siaran televisi Piala Dunia sepak bola tahun 1978 yang diadakan di Argentina.


Album terakhir Zeppelin, Coda, dirilis tahun 1982, atau dua tahun setelah Bonham meninggal, dan terdiri atas delapan lagu lama buatan tahun 1969, 1970, 1972, 1976, dan 1978. Tanpa promosi yang memadai, album ini masih dapat mencapai daftar terbaik di Inggris maupun di AS meskipun tidak bertahan lama seiring dengan semakin maraknya jenis musik tahun 1980-an.
Bonham meninggal 25 September 1980 dalam usia 30 tahun. Begitu akrabnya persahabatan mereka, tiga rekannya memutuskan tidak lagi meneruskan Zeppelin. Setelah itu, Page, Plant, dan Jones tidak meninggalkan dunia musik meskipun tidak pernah lagi duduk bersama di dalam studio untuk menulis lagi.